Monday, 18 April 2016

sepakbolafantasticblogspot.co.id

                 Kisah sedih pemain timnas u19






Kisah sedih zulfiandi timnas U-19

Nama: Zulfiandi
Posisi: Gelandang
Klub: PSSB Bireun, Aceh
Tempat, tanggal lahir: Bireun, 17 Juli 1995
Pemain Favorit: Sergio Busquets (Barcelona)
Ayah: Alfian
Ibu: Supini
Tinggi: 178 cm 


  Zulfiandi jadi salah satu pemain bintang Timnas Indonesia U-19. Namun, siapa sangka Zulfiandi dulunya sempat tidak mampu membeli sepatu sepakbola.
Kuat dalam bertahan, bagus dalam menyerang. Permainan itu ditunjukkan gelandang Timnas U-19, Zulfiandi, ketika mengalahkan Korea Selatan, Sabtu 12 Oktober 2013.
Zulfiandi merupakan salah satu pemain kunci di lini tengah Timnas U-19. Kemampuannya membaca arah bola, duel-duel udara, hingga mengatur irama permainan, memberikan kenyamanan kepada para pemain di lini tengah Indonesia.

Seringkali pemain yang akrab disapa Zul itu mampu mematahkan serangan-serangan lawan. Pemain klub PSSB Bireun Aceh itu pun menjadi tembok kokoh di lini tengah Timnas U-19.

"Tugas saya memang sangat berat. Sebagai gelandang jangkar, sangat sulit tugasnya. Saya harus menjadi pemain pertama yang menghalau serangan lawan dari lini tengah. Tapi, itu semua saya lakukan demi negara," kata Zul kepada VIVAbola.

Zul merupakan salah satu pemain yang selalu diturunkan pelatih Indra Sjafri sebagai starter di semua laga Timnas U-19 di Piala AFF 2013 dan Pra Piala Asia U-19. Tingkat akurasi umpan gelandang 18 tahun itu pun sangat bagus, mencapai 85 persen. Zul selalu mampu memanjakan rekan setimnya, seperti Muhamad Hargianto dan Evan Dimas dalam mengembangkan permainan.

idak Mampu Beli Sepatu

Zul kemudian menceritakan awal kariernya. Ia mengaku sempat tidak mampu membeli sepatu sepakbola karena kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Ayahnya, Alfian, hanyalah seorang supir bus lintas Sumatera. Sedangkan ibunya, Supini, merupakan seorang ibu rumah tangga.

"Ekonomi keluarga pas-pasan. Saya sempat kesulitan untuk bisa menjadi pesepakbola. Harus bantu-bantu keluarga. Saya bahkan sempat tidak mampu beli sepatu sepakbola. Ayah saya saat itu kehabisan uang. Sepatu yang saya pakai sudah rusak parah," ujarnya.

"Saya kumpulkan uang jajan. Rela tidak jajan di sekolah demi membeli sepatu. Saat itu uang saya hanya terkumpul Rp100 ribu. Saya diam saja, tapi ternyata ayah saya tahu kalau saya lagi kekurangan uang. Dia menambahkan Rp100 ribu lagi," sambungnya.

Zul mengaku masih menyimpan sepatu sepakbola pertama yang dibelinya dengan susah payah. "Saya simpan, itu adalah sepatu pertama yang saya beli dengan hasil kerja keras," ucap Zul.

Sempat Jadi Striker


Di awal kariernya, Zul pernah menjadi seorang striker. Adalah pelatih pertama Zul di SSB Brata Reuleut Bireun, Rukma Amin, yang mengganti posisi pemain kelahiran 17 Juli 1995 itu menjadi gelandang.

"Dulu saya striker. Tapi, saya takut berbenturan dengan pemain belakang lawan. Bisa cedera nanti, itu yang saya khawatirkan. Saya minta kepada pelatih untuk main di posisi gelandang. Saya lihat gelandang sangat mudah tugasnya. Dan saya menemukan kenyamanan di situ," ungkap Zul.

Keputusan sang pelatih memang sangat jitu. Terbukti, saat ini Zul menjadi bintang di Timnas U-19. Zul pun mengucapkan terima kasih kepada pelatih Rukma Amin.

"Saya tidak akan menjadi seperti ini jika coach Rukma Amin tidak melatih saya. Dia adalah sosok terpenting dalam karier sepakbola saya. Selain coach Rukma, ayah dan ibu saya juga sangat berjasa. Ibu sempat melarang saya menjadi pemain sepakbola, tapi akhirnya dia mengerti," ucap Zul.



Kisah Evan Dimas

Nama Lengkap : Evan Dimas Darmono
Nama Panggilan : Evan Dimas 
Tempat Lahir : Surabaya
Tanggal Lahir : 13 Maret 1995
Kebangsaan : Indonesia
Posisi : Gelandang
Bermain di Klub : Timnas U-19

Nama Evan Dimas kini amat tersohor. Sosok muda yang kalem itu sangat dikenal publik sepakbola Indonesia. Kepopuleran itu datang bersama prestasinya yang mengagumkan. Evan tak sendiri, kehebatannya di lapangan hijau tercipta berkat dukungan seluruh tim yang tergabung dalam skuat Timnas U-19. Evan Dimas dan armada Garuda Muda memang layak mendapatkan pujian. 

----------

Publik sepakbola di Tanah Air kini sudah mendapat idola baru: Evan Dimas. Kepopuleran Evan tidak diperoleh secara instan, tapi dicapai lewat proses panjang, ketekunan berlatih, pembelajaran yang terus menerus, dan kerja keras. 

Jalan terjal dan berliku rupanya memang harus dilalui Evan Dimas saat dirinya ingin mewujudkan keinginannya menjadi pemain sepakbola. Evan menyadari, orangtuanya hidup dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan. Bahkan untuk membeli sepasang sepatu sepakbola saja, ia harus bersabar menunggu orangtuanya punya uang. 

Pekerja Keras

Evan Dimas berasal dari keluarga sangat sederhana. Ayahnya, Condro Darmono bekerja sebagai petugas keamanan. Sementara sang ibu, Ana kini lebih banyak berada di rumah mengurusi rumah tangga dan karier Evan. Dulu, Ana pernah bekerja serabutan urusan rumah tangga. Mereka tinggal di Desa Ngemplak RT 3 RW 5, Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, Surabaya Barat, Jawa Timur.

Sebagai anak pertama, Evan terbiasa mengurusi dan melindungi tiga adiknya. Dua adiknya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Sementara si bungsu masih belum bersekolah. 

Kondisi pas-pasan keluarga Condro Darmono dan Ana tak menyurutkan semangat mereka mendidik Evan dan ketiga adiknya. Mereka selalu mendukung setiap langkah Evan untuk menggapai cita-cita putra tercintanya itu. Terutama cita-cita ingin menjadi pemain sepakbola.


Ibunda Evan masih ingat benar bagaimana pertama kali Evan meminta dibelikan sepatu sepakbola. Ketika itu umur Evan masih 9 tahun. Permintaan Evan untuk dibelikan sepatu bola sempat membuatnya kelimpungan dan memutar otak lebih keras. Maklum, ketika itu dirinya hanya ibu rumahtangga biasa dan sang suami berjualan sayuran keliling sebelum beralih profesi menjadi petugas keamanan. 

"Demi anak, kami akhirnya mengupayakan. Saya ke pasar dan membeli sepatu bola yang harganya Rp 20 ribu. Yang murah-murah saja wis, asal Evan senang," kenang Ana ibunda Evan sambil mengingat masa lalu.

Sepatu bola pertama Evan itu dibeli dari hasil jualan sayur sang ayah berkeliling kampung. Walaupun murah, tapi Evan tak menolak pemberian dari orangtuanya itu. Evan mengaku, ketika itu sebenarnya sepatu bola baru itu ukurannya sedikit kebesaran ketika dipakai.

"Sepatu sepakbola pertama saya mereknya Diadora, harganya Rp 20.000. Saya ingat dulu sepatu saya terlalu besar sehingga harus saya masukkan kain agar bisa pas. Umur sepatu itu tidak lama, kira-kira 3 minggu karena sepatunya sangat murah sehingga cepat rusak,” ungkap pemuda kelahiran 13 Maret 1995 tersebut.

Diejek Saat Pinjam Motor

Cerita masa lalu kadang memang indah untuk diingat, atau lucu bila dirunut lagi peristiwanya. Tapi kadang juga membuat sedih. Namun kehidupan itu bagai roda. Sekali tempo berada di atas, atau suatu waktu berada di bawah. Ada duka, ada senang, dan kadan pula ada keharuan. Orangtua Evan Dimas telah mengalami semuanya, pahit dan getir kehidupan. Sebagai anak, Evan pun tumbuh berkembang dan menjadi kuat. 

"Pernah ketika itu saya mau latihan, ibu saya pinjam sepeda motor sama orang, lalu diledek, 'Makanya beli sepeda motor. Lalu ada orang kampung saya yang membela, 'Jangan begitu. Semua ingin beli sepeda motor kalau punya (uang)," kenang Evan.



Lainnya, terkadang, untuk membeli kaus kaki saja Evan sampai berpikir ulang bagaimana cara meminta kepada Ana. Sang ibu bahkan sampai berpatungan dengan saudara-saudaranya untuk membelikan Evan sepasang sepatu sepakbola.

Pernah Merasa Iri

Lingkungan sosial tempat Evan hidup amat heterogen. Di usia remajanya, Evan Dimas kerap mengalami godaan yang memang sulit ditolak. Sekali waktu, kadang Eva merasa iri ketika melihat teman-temannya bisa memakai sepatu baru.  

"Terkadang saya iri lihat orang-orang yang bisa membeli sepatu baru untuk anaknya. Saya hanya berpikir kapan bisa membeli sepatu seperti itu, sedangkan ibu hanya jadi pembantu dan kadang berjualan kacang keliling kampung," sambung Evan mengenang.

Kondisi yang serba terbatas itu justru membuat Evan terpacu untuk lebih bersemangat dan menjadi lebih baik. Evan mengaku, pertama kali menekuni sepakbola sejak kelas 4 SD. Ia sempat menimba ilmu di SSB Sasana Bhakti (Sakti) bersama saudara sepupunya, Feri Ariawan. Bakatnya semakin terasah, ketika bergabung dengan SSB Mitra Surabaya pada 2007, saat itu Evan masih berusia 12 tahun.

Di lapangan hijau, Evan berperan sebagai gelandang. Meski posturnya mungil, daya jelajahnya sangat tinggi. Tak hanya itu, kaki kiri dan kanannya juga 'hidup'. Evan juga dikenal sebagai gelandang yang memiliki tenaga ekstra. Semangatnya seperti tak pernah habis untuk mengejar kemenangan tim yang dibelanya. Hanya satu yang menjadi kelemahannya saat ini, yakni kontrol emosi. Sebuah hal yang lumrah dimiliki seorang pemain muda.

Sebenarnya, rengekan Evan yang ingin bermain bola sudah terjadi sejak umur tiga tahun. Bahkan waktu itu, Evan minta masuk sekolah sepakbola di Sekolah Sepakbola Sasana Bhakti Surabaya. Namun keinginan itu sulit diwujudkan karena harus punya sepatu bola. 

Muhamad Sahrul Kurniawan



Kisah bergabungnya Muhammad Sahrul Kurniawan ke Timnas U-19 ternyata cukup unik. Bakat bek asal Ngawi, Jawa Timur itu terpantau oleh pelatih Indra Sjafri berkat jasa seorang tukang ojek.

Indra memang gemar melakukan talent scouting ke daerah-daerah untuk menemukan para pemain terbaik. Salah satu metodenya adalah dengan mengajak timnas U-19 tur keliling daerah untuk menjalani uji coba melawan tim lokal.
Selain untuk mematangkan permainan tim, metode ini penting dilakukan agar bisa membandingkan pemain yang akan direkrut dengan pemain yang sudah ada di tim.

Kabupaten Ngawi menjadi salah satu dari daerah yang sempat dikunjungi Indra beserta anak-anak asuhnya pada 2012. Di saat itulah Indra menemukan bakat Sahrul yang merupakan anak dari seorang buruh tani.

"Saat itu, ada tukang ojek yang memberi tahu saya bahwa ada pemain bagus, yaitu Sahrul,"  kata Indra mengisahkan pengalamannya.

Indra kemudian meminta kepada tukang ojek tersebut untuk mengajak Sahrul  datang pada laga uji coba melawan Persinga Ngawi.
"Kami kasih ongkos ojek Rp 10 ribu. Kemudian saya meminta pelatih Persiwangi Ngawi untuk memainkan Sahrul. Dan memang Sahrul saat itu mampu bermain bagus," kata Indra.

Setelah itu, Sahrul mendapat kesempatan ikut seleksi lanjutan timnas melawan tim-tim lokal lain. Sahrul pun akhirnya terpilih dan mengenakan kostum Timnas untuk pertama kalinya pada turnamen Federasi Sepak Bola Hongkong 2013 dimana Indonesia keluar sebagai juara.

Sahrul pun terus menjelma sebagai bek andalan timnas Indonesia. Duetnya dengan Hansamu Yama Pranata di barisan pertahanan timnas, berhasil membawa Indonesia menjuarai Piala AFF 2013 dan lolos kualifikasi Piala Asia 2014.

Ravi Murdianto

Nama Lengkap : Ravi Murdianto
Alias: Ravi
Tempat Lahir: Grobogan, Jawa tengah
Tanggal Lahir: 13 Maret 1995
Zodiac : Pisces
Kebangsaan: Indonesia
Posisi  Kiper
Tinggi: 183 cm
Berat: 82 Kg
Ayah: Heri Supriyanto
Ibu: Murminah
 Ravi Murdianto, kiper jebolan Timnas Indonesia U-19 era Indra Sjafri digadang-gadang sebagai calon penjaga gawang massa depan Tim Merah-Putih. Saat ini, mantan kiper Mitra Kukar itu tengah menempuh pendidikan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Apa kabar pemain belia berwajah ganteng tersebut?
   mengunjungi kediaman sederhana di Desa Tegowanu Kulon RT 10 RW 01, Kecamatan Tegowanu, Kabupaten Grobogan. Butuh waktu perjalanan 1,5 jam dari Kota Semarang arah Purwodadi. Putra bungsu dari tiga bersaudara itu ternyata hampir tiap malam menghubungi sang ibunda Murminah (49).
''Hampir setiap malam Ravi pasti telepon saya. Ya kadang curhat atau cerita-cerita. Apa yang dia alami juga diceritakan ke saya misal jalan-jalan ke mana atau besok mau tanding dengan siapa sampai kalau pas belanja apa,'' ungkap Murminah saat berbincang dengan
Komunikasi memang jadi agenda rutin yang dilakukan tiap malam. Terlebih setelah Ravi terjun di dunia militer. Sang pemain terpisah jauh dari sang bunda. Ia kini berdinas di Rindam III/Siliwangi, Bandung.
Murminah mengakui, Ravi sudah mempunyai sikap manja dengannya sejak masih kecil.
Bahkan sang ibunda bercerita jika kiper berusia 21 tahun itu menyiapkan makanan agar sang anak mau mengisi perut. Beberapa sayuran yang jadi kesukaan Ravi antara lain sayur asem dan lodeh khas masakan Jawa.
''Dulu kalau makan porsinya besar karena dia sangat hobi. Tapi setelah masuk Timnas Indonesia porsi makannya bisa diatur untuk kesehatan. Kalau pulang ke rumah juga tidak sebanyak dulu,'' katanya.
Jadi prajurit TNI, membuat Ravi bakal jarang bertemu keluarga. Namun Murminah memahami hal tersebut. Menurutnya, keluarga sudah terbiasa dengan aktivitas merantau kiper  kelahiran 8 Januari 1995. Bagaimana tidak, sejak mengenyam pendidikan  Sekolah Menegah Pertama (SMP), Ravi harus hijrah ke Salatiga untuk memperkuat Diklat di kota itu
''Kalau di TNI paling tidak massa depan terjamin meski dari awal tidak  kepikiran kalau akhirnya jadi tentara. Apalagi kondisi sepak bola ya masih tidak karuan. Toh juga tidak lepas sama sekali dari sepak bola yang sudah jadi keinginan dia sejak kecil,'' tutur Murminah.
Ya, walau sudah jadi prajurit TNI Ravi Murdianto tak bisa lepas dari dunia sepak bola. Di luar urusan kedinasannya ia kini tergabung dalam tim sepak bola PS TNI yang baru-baru ini tampil di Piala Jenderal Sudirman bersaing dengan 14 klub-klub anggota Indonesia Super League.